Integrasi Ternak Sapi dengan Kelapa Sawit
Petani di pedesaan umumnya memiliki jenis usaha yang beragam di bidang pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari pengamatan lapangan terlihat bahwa kebanyakan petani yang eksis dalam berusahatani tidak menggantungkan kehidupan mereka pada satu komoditi saja. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, mereka memiliki lahan (tanaman semusim dan atau tahunan), ternak (ruminansia, unggas, dan atau ikan), atau kedua-duanya (lahan dan ternak), walaupun jumlah kepemilikan lahan dan ternak tersebut relatif terbatas.
Dalam waktu tertentu, seorang petani dapat mengolah lahan dan memelihara ternak. Status mereka dapat berubah-ubah dari buruh tani, petani penggaduh, petani penyewa, dan atau sekaligus sebagai petani pemilik dalam satu kurun waktu.
Diversifikasi usahatani telah tumbuh dan berkembang di perdesaan, salah satunya bertujuan untuk mengantisipasi resiko usaha dari kegagalan usahatani sejenis. Namun pola integrasi (mix farming) belum banyak dilakukan atau dikenal oleh petani skala kecil, karena umumnya pola usaha yang dilakukan adalah subsisten. Padahal kesempatan untuk melakukan integrasi sangat besar ditinjau dari potensi lahan dan ternak yang ada. Salah satu penyebabnya adalah penguasaan dan pemanfaatan teknologi pertanian. Pada Tabel 2 ditampilkan karakteristik sistem usahatani dengan pemanfaatan teknologi pertanian menurut Handaka et al (2009).
Tabel 2. Karakteristik Hubungan Sistem Usahatani dengan Pemanfaatan Teknologi Pertanian.
Variabel Subsisten Integrasi Semi Komersial Komersial
Input Semuanya diusahakan sendiri Campuran antara diusahakan sendiri dan dibeli dari tetangga Dibeli di pasar atau kios, sudah memiliki standar/sertifikat Dibeli di pasar dengan standar dan kualitas
Tenaga kerja Semua tenaga kerja sendiri Campuran antara dalam keluarga dan luar keluarga Sebagian besar tenaga kerja luar (sewa/upah) Luar dan mekanisasi
Penggunaan output Untuk sendiri Kebanyakan untuk sendiri, surplus dijual Sebagian dipakai sendiri, surplus dijual Dijual komersial
Diversifikasi Tidak/belum ada Ada namun terbatas Ada Spesialisasi
Kelembagaan Tidak/belum dikenal atau tidak terlibat Masih antar anggota/gotong royong kuat Ada, perlu bantuan kredit dari lembaga keuangan Mutlak diperlukan
Mekanisasi Semuanya manual/hewan Manual/tenaga ternak/mekanisasi Sebagian mekanisasi Sebagian besar atau seluruhnya mekanisasi
Tabel 2 menunjukkan bahwa sistem usahatani integrasi (mix farming), merupakan pengembangan dari sistem usahatani subsisten. Pada sistem integrasi ini, ada upaya petani untuk menggunakan modal dalam pembelian input, penggunaan tenaga kerja luar keluarga dalam pengelolaan usaha, menjual kelebihan hasil usahatani, menerapkan perpaduan pemanfaatan tanaman dengan ternak, melibatkan kelompok tani/kelompok masyarakat dalam usaha, serta telah mengenal mekanisasi dalam skala kecil.
Dalam skala luas, integrasi sapi dengan kelapa sawit dapat saja melibatkan peranan perusahaan perkebunan swasta karena didukung oleh luas kepemilikan lahan yang besar. Sebagai contoh, pada tahun 2008 luas tanaman sawit di Indonesia sekitar 7 juta hektar yang tersebar di 18 propinsi, Perkebunan Besar Swasta (PBS) memiliki 3,5 juta ha (50%), Perkebunan Besar Negara (PBN) 650 ribu hektar (9,3%), dan Tanaman Sawit Rakyat (TSR) 2,85 juta ha (40,7%) (Chaniago, 2009). Luas kepemilikan kebun sawit oleh swasta yang sedemikian besar menjagi peluang yang juga sangat besar dalam pengembangan integrasi sapi dengan kelapa sawit yang dapat saja melibatkan petani pada kebun inti atau pada kebun plasmanya.
Integrasi Ternak Sapi dengan Kelapa Sawit
Usahatani ternak sapi menghadapi tantangan penyusutan lahan sehingga produksi hijauan dan hasil samping pertanian yang dapat dijadikan pakan sapi juga ikut berkurang. Disisi lain, usahatani ternak sapi dituntut untuk terus memacu produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri yang terus berkembang. Memacu produksi melalui pemberian konsentrat tidaklah ekonomis, karena harganya terlalu mahal dan terus naik, karena bahan bakunya sebagian diimpor dan bahan baku asal dalam negeri bersaing dengan kebutuhan lain. Untuk menghadapi tantangan tersebut, pengembangan usaha ternak sapi ke depan dapat bertumpu pada pemanfaatan hasil samping perkebunan, yang tidak lagi dianggap sebagai limbah, namun sebagai sumberdaya (Suharto, 2003).
Jika dianalisis secara umum, dapat diketahui bahwa integrasi sapi dengan kelapa sawit yang dapat dilakukan petani umumnya mengisi relung sistem pertanian integrasi atau semi komersial. Hal ini karena usahatani integrasi hanya dapat dilakukan oleh petani yang memiliki lahan kelapa sawit dan ternak sapi. Dari segi penguasaan modal produksi, petani pelaksana integrasi sapi dan kelapa sawit relatif memiliki taraf kehidupan yang lebih baik daripada petani subsisten.
Dukungan perusahaan perkebunan swasta maupun pemerintah melalui sistem inti-plasma dapat ikut mendukung usaha integrasi sapi dan tanaman perkebunan jika hal ini menjadi salah satu perhatian perusahaan. Petani yang memiliki/merawat kebun dapat saja mengintegrasikan kebunnya sebagai sumber pendapatan utama dengan ternak sapi yang dibantu melalui kredit lunak oleh perusahaan perkebunan (bagi petani plasma) maupun melalui program pemerintah (petani rakyat). Limbah tanaman perkebunan yang melimpah dapat dijadikan pakan ternak sapi, sebaliknya ternak sapi dapat menjadi tenaga kerja dan sumber pupuk organik bagi tanaman.
Melalui pola di atas, efisiensi usaha perkebunan meningkat melalui pengurangan pupuk kimia karena telah disubstitusi oleh pupuk organik yang dapat diolah dari kotoran sapi serta biaya angkut menjadi lebih murah karena dapat menggunakan sapi sebagai tenaga kerja, khususnya dari lokasi-lokasi kebun yang sulit dijangkau. Efisiensi usaha ternak dapat ditingkatkan melalui penyediaan pakan yang kontinyu dari limbah perkebunan, mudah dan murah diperoleh. Dengan demikian, masalah limbah, baik dari ternak sapi maupun dari kebun/pabrik dapat teratasi.
Pengembangan peternakan sapi terkendala oleh penyediaan pakan yang berkualitas karena semakin terbatasnya lahan untuk penggembalaan dan untuk penanaman hijauan makanan ternak. Oleh karena itu, Pemerintah melalui Program P2SDS mendorong agar usaha peternakan rakyat dapat diintegrasikan dengan usaha perkebunan atau pertanian pangan/hortikultura. Strategi ini penting karena usaha pertanian non peternakan menghasilkan limbah atau biomassa yang berpotensi sebagai sumber pakan bagi ternak, salah satunya berasal dari perkebunan kelapa sawit (Siahaan et al, 2009).
Selanjutnya Siahaan et al (2009) menambahkan bahwa tanaman kelapa sawit yang diintroduksi sejak tahun 1848 ke Indonesia, merupakan komoditas penting bagi Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Bila daging sapi merupakan sumber protein hewani, kelapa sawit merupakan sumber utama minyak dan lemak nabati untuk pangan bagi penduduk Indonesia.
Kontradiksinya yaitu bila ternak sapi masih diimpor, minya sawit merupakan barang ekspor yang pada tahun 2008 volume ekspornya mencapai 13 juta ton (72,2%) dari volume produksi 18 juta ton dengan nilai ekspor 12 milyar dollar Amerika Serikat. Ketergantungan terhadap ekspor ini mempunyai potensi pelemahan terhadap viabilitas industri kelapa sawit. Terbukti bahwa penurunan harga yang terjadi dua tahun terakhir ini terkait dengan krisis finansial global telah memukul pelaku bisnis kelapa sawit, dan yang paling terpengaruh adalah petani skala kecil (smallholder) (Siahaan et al, 2009; Chaniago, 2009). Selain itu biaya produksi juga meningkat karena harga pupuk yang melonjak tinggi akhir-akhir ini, biaya tenaga kerja yang juga meningkat dan semakin besarnya penyediaan Tandan Buah Segar (TBS) ke pabrik yang berdampak pada harga jual yang cukup rendah. Diversifikasi usaha perkebunan sawit yang terintegrasi dengan usaha lain perlu dilakukan untuk mengurangi gejolak perubahan harga. Salah satunya adalah integrasi perkebunan kelapa sawit dengan peternakan sapi.
Chaniago (2009) melaporkan bahwa keuntungan integrasi sapi dengan kelapa sawit adalah diperolehnya output tambahan yaitu lebih banyak produksi TBS dan Crude Palm Oil (CPO) akibat pupuk organik, penghematan biaya pembuatan kolam limbah pabrik kelapa sawit, penghematan biaya transportasi TBS, penghematan biaya pupuk karena menggunakan pupuk organik sendiri, penghematan pembuatan dan pemeliharaan jalan, pertambahan bobot hidup sapi dengan biaya murah karena pakan limbah yang murah, dan kebersihan lingkungan.
Peternakan sapi di sekitar perkebunan kelapa sawit dimulai dalam bentuk penggembalaan bebas untuk memanfaatkan ketersediaan hijauan berbentuk gulma di bagian bawah tanaman kelapa sawit. Awaludin dan Masurni (2004) melaporkan bahwa pada tahun 2002, terdapat 214 perkebunan kelapa sawit di Malaysia telah melaksanakan sistem integrasi dengan 127.589 ekor sapi dalam program pengendalian hama terpadu pada kebun kelapa sawit. Hasilnya, usaha penggemukan sapi dapat menekan perkembangan gulma sampai 77% sehingga dapat menghemat biaya pengendalian gulma pada perkebunan kelapa sawit.
Di Indonesia, Pusat Penelitian Kelapa Sawit secara konservatif tidak menganjurkan penggembalaan, namun perkandangan pada integrasi sapi dengan kelapa sawit. Hal ini karena mengganggu pertanaman kelapa sawit seperti pengerasan tanah, kemungkinan sapi memakan pelepah muda tanaman sawit yang belum menghasilkan, disamping itu produktivitas sapi relatif rendah karena kurang terkendalinya kualitas dan kuantitas pakan (Siahaan et al, 2009).
Selain menghasilkan CPO sebagai komoditas utama, industri kelapa sawit juga menghasilkan beberapa jenis hasil samping yang potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak, yakni serabut mesokarp (palm press fibre/PPF), lumpur sawit (palm sludge/PS), bungkil inti sawit (oil palm frond/OPF), dan pelepah sawit (oil palm trunk/OPT) yang diperoleh dari kebun kelapa sawit. Gambar 2 menampilkan komposisi produk dan hasil samping pabrik kelapa sawit dan potensi pemanfaatannya sebagai pakan ternak (Elisabeth dan Ginting, 2004).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda